UBERBERITA, JAKARTA – Djoko Goenawan MSi Phd Sang Ilmuan ini ingin mewujudkan harapan Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto yang telah memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Kata Djoko Goenawan, tekad Prabowo dengan mencanangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen merupakan tantangan yang harus direalisasikan oleh para menteri Kabinet Merah Putih, dengan kejelian untuk memaksimalkan potensi-potensi ekonomi yang selama ini terpendam.
Dengan perihal tersebut juga kata dia, Kabinet Merah Putih tidak boleh lagi terjebak dalam fenomena birokrasi masa lalu, yaitu sekadar mengubah tantangan menjadi tentengan semata. Perlu diketahui jika Guna memenuhi target 8 persen kata Raden Djoko Goenawan MSi Phd. Itu ditunjang dengan sejumlah sektor seperti industri, PPN serta iklim. Apalagi Indonesia memiliki iklim tropis.
Iklim Tropis
Dengan posisi Indonesia terletak di sabuk khatulistiwa, diketahui jika 12 bulan penuh sinar matahari diperlukan tanaman untuk melakukan fotosintesis. Selain itu Indonesia juga diberkahi 2 musim yakni musim kemarau dan musim penghujan.
“Kalau selama ini jika musim kemarau lahan pertanian kita kekeringan sampai tanahnya retak-retak. Nah itu sangat disayangkan dan jika musim penghujan malah kebanjiran. Sementara air hujan iti adalah sumber utama air tawar. Idealnya ditahan selama mungkin di daratan. Maka selain membangun embung, waduk, dan bendungan, jauh lebih mendesak lagi saat ini untuk dibuat pintu-pintu air di sepanjang sungai, sehingga mampu mengurangi laju muka air sungai agar air tawar tidak segera terbuang ke laut,” urai Raden Djoko Goenawan.
Menurutnya Fenomena dijelankan tersebut menunjukkan jika water management yang di jalankan pemerintah selama ini belum komprehensif, tidak pernah menempatkan rain management sebagai faktor yang terutama.
‘Padahal dengan menggunakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) potensi curah hujan dapat dimaksimalkan pada musim kemarau melalui hujan buatan. Sebaliknya, pada musim penghujan potensi curah hujan yang terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan banjir, dapat diminimalkan dengan teknik cloud buster,” katanya, Jumat (18/4/2025).
Raden Djoko Goenawan menilai jika Strategi Kementerian Pertanian dalam menggenjot produktivitas pertanian melalui bantuan benih, pupuk, dan alsintan kata dia. Itu acap kali tak maksimal akibat kendala pasokan air untuk pertanian di musim kemarau.
Raden Djoko Goenawan menyebutkan catatan secara nasional terdapat 7,4 juta hektare luas baku sawah di Indonesia dan ada sekitar 36 persen merupakan sawah tadah hujan.
“Kalau solusi jangka pendek masalah pasokan air bagi pertanian adalah dengan bantuan pompa untuk meningkatkan ketersediaan air melalui program pompanisasi. Sementara jangka panjang, itu sebaiknya penyediaan air bagi pertanian dan perkebunan lebih murah diguyurkan dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) melalui program hujan buatan,” beber Raden Djoko Goenawan.
Ia melanjutkan, dengan pompanisasi kata dia lagi, itu berbeda, lewat program bantuan pompanisasi maka biaya pengadaan air pada akhirnya menjadi beban petani, sedangkan melalui TMC maka beban pengadaan air bisa ditanggung oleh negara, ataupun oleh perusahaan perkebunan besar baik secara mandiri, maupun melalui program CSR mereka.
Adapun biaya TMC untuk hujan buatan saat ini sebutnya. Itu sudah jauh lebih murah dan efisien. “Ini diisebabkan dengan adanya penemuan terbaru dari ilmuwan asli Indonesia dan teknologi yang sudah dipatenkan oleh sejumlah Ilmuan termasuk dirinya.
Dia menyebutkan dirinya selaku ilmuwan bersama Prof. Heri Budi Wibowo (Kepala Program Studi Persenjataan Unhan), Raden Djoko Goenawan MSi, Phd (c) yaitu 1. Flare untuk Bahan Semai Hujan Buatan (Terdaftar, 2024). 2. Modifikasi Cuaca Berbasis Drone dengan Sistem Fogging (Terdaftar, 2023).
“Kalau dulu teknologi konvensional yang kita kenal untuk membuat hujan buatan adalah dengan menggunakan pesawat terbang di atas awan-awan potensial untuk dilakukan penyemaian (seeding) dengan menggunakan bahan semai garam, maka dengan teknologi karya bangsa Indonesia sendiri, tidak lagi menggunakan pesawat terbang yang ongkos operasionalnya sangat mahal. Kita cukup dengan menggunakan drone dan menggunakan bahan nanopartikel hygroscopic yang dibakar dalam kemasan tabung flare,” ungkap Raden Djoko Goenawan.
Dijelaskan, pembentukan awan yang dihasilkan oleh setiap 1 kg bahan semai dalam bentuk flare nano partikel higroskopis. Itu setara dengan pembentukan awan yang dilakukan penyemaian dengan 1 ton garam semai.
“Komitmen Presiden Prabowo untuk memakai produk-produk karya asli bangsa Indonesia melalui mobil kepresidenan Maung Garuda, memberikan harapan baru agar TMC dengan teknologi flare dan drone karya asli bangsa Indonesia, yang lebih efektif dan biaya yang lebih terjangkau dibandingkan dengan teknologi konvensional yang menggunakan garam semai yang diangkut moda pesawat terbang, harapan kami dapat digunakan secara masif sebagai pilihan utama dalam rain management di Indonesia,” tuturnya.
Guna mempercepat realisasi pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut lanjutnya, salah satu alternatif adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian, perkebunan, pertambangan melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Tenaga kerja pertanian (dalam arti sempit) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 36,46 juta orang pada Agustus 2023. ” Nah umlah ini merupakan 26,07 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya yaitu 139.85 juta orang, di mana sekitar sepertiganya berada di sektor perkebunan, yang memiliki kontribusi sekitar 12,98 persen terhadap perekonomian nasional,” rincinya.
Raden Djoko Goenawan menyayangkan bila mana setiap musim kemarau selalu mengalami penurunan produktivitas karena berkurangnya pasokan air. Sedangkan pertambangan, meski hanya menyerap sekitar 1,2 persen tenaga kerja tetapi kontribusinya kepada pertumbuhan nasional 2022 adalah sebesar 12,22 persen.
“Sayangnya pada setiap musim penghujan juga mengalami penurunan produktivitas karena alat-alat berat menjadi berbahaya dioperasikan pada saat turun hujan. Dengan mengoptimalkan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk hujan buatan pada musim kemarau, diharapkan perkebunan dan pertanian akan mendapatkan pasokan air yang cukup. Sebaliknya pada musim penghujan, maka intensitas hujan di lokasi-lokasi pertambangan bisa diminimalkan secara signifikan.
Potensi Terpendam Industri Sawit Nasional
“Kita mengambil contoh dari realitas yang ada pada sektor perkebunan sawit, dengan menggunakan data-data sekunder dan asumsi-asumsi yang konservatif. Dengan luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 17 juta hektare, usia produktif kelapa sawit adalah 8 tahun sampai 25 tahun.
“Dengan demikian kita asumsikan jika terdapat tanaman sawit yang berumur di bawah 8 tahun sebesar 5 juta hektare dari 17 juta hektare, sehingga yang produktif hanyalah 12 juta hektare. Produktivitas kelapa sawit berusia di atas 8 tahun adalah 2 ton per hektare. Namun di masa kemarau produktivitas itu bisa turun menjadi 50 persen (bahkan di beberapa tempat bisa jauh lebih rendah lagi) menjadi sekitar 1 ton/hektare selama 4 bulan kemarau, keadaan ini dikenal dengan istilah musim trek buah sawit,” katanya mencotohkan.
Lagi Raden Djoko Goenawan melanjutkan, pada musim trek adalah siklus yang pasti dialami tanaman kelapa sawit setiap tahun. Saat terjadi trek buah, produksi buah jauh berkurang. Akibatnya pendapatan petani juga berkurang. Jika diasumsikan rata-rata produksi TBS adalah 2 ton/hektare/bulan, maka dalam 12 bulan akan menghasilkan TBS: 12 bulan × 2 ton = 24 ton/tahun.
“Karena terdapat penurunan produksi sebanyak 50 persen atau sekitar 1 ton/hektare selama 4 bulan musim kemarau, maka produksi TBS turun hanya menjadi 20 ton/tahun, dengan kata lain terjadi penurunan produktivitas sebesar 20 persen,” sebutnya.
Demikian pula jika harga Tandan Buah Segar (TBS) Rp2.500/kg akibat faktor kekurangan air di musim kemarau, maka terjadi hilangnya pendapatan dari hasil menjual Tandan Buah Segar (TBS) adalah sebesar: 4 bulan × 12 juta hektare × 1.000 kg × Rp2.500/kg = Rp120 triliun/tahun.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi crude palm oil (CPO) tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik sebesar 7,15 persen dari 2022 sebesar 46,73 juta ton.
‘”Ini Artinya jika faktor trek buah pada industri sawit dapat diminimalkan, maka seharusnya pada 2023 produksi CPO akan menjadi: 50 juta ton × 120 persen = 60 juta ton CPO. Terdapat potensi 10 juta ton CPO yang hilang dan sebenarnya dapat ditingkatkan hanya dengan mengatasi masalah trek buah pada industri sawit nasional dengan hujan buatan melalui TMC,” urainya melanjutkan.
“Pendapatan PPN dari penjualan CPO di atas jika diasumsikan harga CPO adalah Rp14.000/kg adalah: 10 juta ton CPO × PPN 11 persen × Rp14.000/kg = Rp 15,4 triliun. Pendapatan PPN ini belum ditambah dengan PPH Badan dan PPH orang pribadi. Dengan adanya tambahan produksi CPO secara nasional sebesar 10 juta ton, maka rencana pemerintah yang akan memangkas 5,3 juta ton ekspor CPO untuk program B50 pada tahun depan, tidak perlu terjadi,” ungkapnya.
BMKG dan TMC adalah Kunci Realisasi Pertumbuhan 8 Persen
Dalam berbagai pidato Presiden Prabowo, ia berkali-kali menyatakan jika luas wilayah NKRI setara dengan benua Eropa. Demikian luasnya wilayah Indonesia, sehingga perlu berbagai strategi dalam melakukan water management termasuk rain management.
Menurut Raden Djoko Goenawan salah satunya adalah membagi wilayah-wilayah kerja tersebut berdasarkan cluster-cluster area yang memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. “Tidak bisa lagi dijalankan dengan pola yang ada seperti saat ini, yang sebagian besar – jika enggan untuk menyatakan seluruh- kegiatannya terpusat di Jakarta.
Raden Djoko Goenawan mencotohkan lagi dengan peristiwa banjir di kawasan PT IMIP Morowali yang diakibatkan oleh curah hujan yang sangat tinggi, seharusnya dengan menggunakan TMC melalui teknologi cloud buster bencana banjir dapat dicegah, setidaknya intensitas hujan dapat diminimalkan. Karena konsentrasi awan hujan yang dapat mencurahkan hujan selama berhari-hari, tidak terakumulasi secara seketika, tetapi awan tersebut terakumulasi sedikit demi sedikit.
“Kita sangat menyayangkan, keterbatasan sumber daya manusia dan juga anggaran yang dialokasikan terutama untuk TMC, menyebabkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tampak kurang maksimal. Contohnya terkadang BMKG memberikan prakiraan datangnya musim kemarau, prakiraan tersebut disebarluaskan melalui berbagai media massa, tetapi setelah berita datangnya musim kemarau tersebut diketahui publik, BMKG tidak bisa melakuk,” tutupnya. (Thiti Cristy)